BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang masalah
Manusia merupakan makhluk
Allah SWT yang sejak kehadirannya di muka bumi telah diberikan potensi untuk
dapat menghadapi kehidupan. Sebagaimana telah diketahui bahwasannya Adam telah
diberi pengetahuan tentang segala sesuatu dari ala mini, dimana makhluk Allah
SWT yang lain tidak mampu untuk menyebutkan apalagi sampai kepada yang lebih
tinggi dari itu (menganalisis,
sintesis, evaluasi dan kreasi) Hal ini terjadi karena Allah SWT menjadikannya
Khalifah dan melengkapinya dengan akal pikiran yang dinamis, perangkat
kehidupan yaitu pendengaran, pengelihatan dan hati.
Manusia dengan potensi yang dimilikinya
mampu mengembangkan pengetahuan dalam rangka mengatasi kebutuhan hidup dan
bahkan lebih dari itu manusia mampu mengembangkan kebudayaan, memberi makna
pada kehidupan dan dia memiliki tujuan dalam kehidupan.
Perkembangan pengetahuan manusia dapat
terjadi karena manusia memiliki bahasa yang dapat mengkomunikasikan
informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Selain
itu manusia memiliki kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir
tertentu yang disebut penalaran.
Dalam makalah ini akan dibahas berkenaan dengan pengertian Filsafat,
Ilmu dan Filsafat Ilmu menurut para ahli maupun secara umum.
I.2 Rumusan dan Batasan
masalah
Rumusan pada pada makalah ini
kami hanya membahas definisi/ pengertian Filsafat Ilmu menurut para ahli maupun
definisi secara umum yang berkenaan dengan judul makalah ini.
1.3 Tujuan penulisan
Tujuan pembuatan makalah ini
adalah untuk lebih memahami definisi/pengertian Filsafat Ilmu secara umum
maupun menurut para ahli.
1.4 Metoda Penulisan
Dalam melakukan pengerjaan
makalah ini kami mencari informasi yang berhubungan dengan Filsafat Ilmu, kami
menggunakan Metoda penulisan dengan cara mempelajari Fengertian Filsafat Ilmu ini dari berbagai
media ,buku dan internet.
1.5 Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini
terdiri dari bab perbab menurut urutan pembahasannya, yang terdiri dari :
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi uraian Latar belakang
masalah , Rumusan dan Batasan masalah ,Tujuan penulisan , Metode penulisan
, dan Sistematika Penulisan.
BAB II :
ISI
Membahas tentang Definisi Ilmu, Definisi Filsafat dan
Definisi Filsafat Ilmu Menurut
para Ahli dan secara umum .
BAB III : PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran dari uraian dan
pembahasan pada makalah ini.
BAB
II
ISI
2.1 Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari
bahasa Arab, ‘alama. Arti dasar dari kata ini adalah pengetahuan. Penggunaan
kata ilmu dalam proposisi bahasa Indonesia sering disejajarkan dengan kata
science dalam bahasa Inggris. Kata science itu sendiri memang bukan bahasa Asli
Inggris, tetapi merupakan serapan dari bahasa Latin, Scio, scire yang arti
dasarnya pengetahuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa science berasal dari kata
scientia yang berarti pengetahuan. Scientia bersumber dari bahasa Latin Scire
yang artinya mengetahui.
Terlepas dari berbagai perbedaan asal kata, tetapi jika
benar ilmu disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris, maka
pengertiannya adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dipakai dalam bahasa
Indonesia, kata dasarnya adalah “tahu”.Secara umum pengertian dari kata “tahu”
ini menandakan adanya suatu pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman dan
pemahaman tertentu yang dimiliki oleh seseorang.
1.
Pendapat yang sama diungkapkan
M. Quraish Shihab. Ia berpendapat bahwa ilmu berasal dari bahasa Arab, ilm.
Arti dasar dari kata ini adalah kejelasan. Karena itu, segala bentuk kata yang
terambil dari kata ‘ilm seperti kata ‘alm (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing),
‘alam (gunung-gunung) dana ‘alamat mengandung objek pengetahuan. Ilmu dengan
demikian dapat diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
2.
Athur Thomson mendefinisikan
ilmu sebagai pelukisan fakta-fakta, pengalaman secara lengkap dan konsisten
meski dalam perwujudan istilah yang sangat sederhana.
3.
S. Hornby mengartikan ilmu sebagai: Science is
organized knowledge obtained by observation and testing of fact (ilmu adalah
susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan
percobaan dari fakta-fakta.
4.
Kamus bahasa Indonesia,
menerjemahkan ilmu sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu pula. Kamu ini juga menerangkan bahwa ilmu dapat
diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat,
lahir dan bathin.
Poincare menyebutkan bahwa ilmu berisi kaidah-kaidah
dalam arti definisi yang tersembunyi (science consist entirely of convertions
in the sence of disguised definitions). Pengertian dan kandungan ilmu yang
dicoba ditawarkan Poincare ini, harus pula diakui memperoleh penolakan dari
berbagai ahli. Bahkan ada anggapan yang menyatakan bahwa pikiran Poincare ini
merupakan kesalahan besar. Le Ray seolah menjadi antitesis dari pemikiran
Poincare. Le Ray misalnya menyatakan bahwa “Science consist only of consecrations
and it is solely to this circumstance that is owes its apparent certainly”. Le
Ray juga menyatakan bahwa science cannot teach us the truth, it’s can serve us
only as a rule of action (ilmu tidak mengajarkan tentang kebenaran, ia hanya
menyajikan sejumlah kaidah dalam berbuat.
Dari beberapa definisi ilmu di atas, maka, kandungan
ilmu berisi tentang; hipotesa, teori, dalil dan hukum.Penjelasan di atas juga
menyiratkan bahwa hakekat ilmu bersifat koherensi sistematik. Artinya, ilmu
sedikit berbeda dengan pengetahuan. Ilmu tidak memerlukan kepastian
kepingan-kepingan pengetahuan berdasarkan satu putusan tersendiri, ilmu justru
menandakan adanya satu keseluruhan ide yang mengacu kepada objek atau alam
objek yang sama saling berkaitan secara logis.
Setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya. Ilmu
tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan penalaran masing-masing
orang. Ilmu akan memuat sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang
sepenuhnya belum dimantapkan. Oleh karena itu, ilmu membutuhkan metodologi,
sebab dan kaitan logis. Ilmu menuntut pengamatan dan kerangka berpikir metodik
serta tertata rapi. Alat bantu metodologis yang penting dalam konteks ilmu
adalah terminology ilmiah.
2.2. Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia dan
philoshophos. Menurut bentuk kata, philosophia diambil dari kata philos dan
shopia atau philos dan sophos. Philos berarti cinta dan shopia atau shopos
berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Dalam pengertian ini seseorang dapat
disebut telah berfilsafat apabila seluruh ucapannya dan perilakunya mengandung
makna dan ciri sebagai orang yang cinta terhadap kebijaksanaan, terhadap pengetahuan
dan terhadap hikmah.
Pada awalnya, kata sofia lebih sering diartikan sebagai
kemahiran dan kecakapan dalam suatu pekerjaan, seperti perdagangan dan
pelayaran. Dalam perkembangan selanjutnya, makna dari kata kemahiran ini lebih
dikhususkan lagi untuk kecakapan di bidang sya’ir dan musik. Makna ini kemudian
berkembang lagi kepada jenis pengetahuan yang dapat mengantarkan manusia untuk
mengetahui kebenaran murni. Sofia dalam arti yang terakhir ini, kemudian
dirumuskan oleh Pythagoras bahwa hanya Dzat Maha Tinggi (Allah) yang mampu
melakukannya. Oleh karena itu, manusia hanya dapat sampai pada sifat “pencipta
kebijaksanaan”. Pythagoras menyatakan: “cukup seorang menjadi mulia ketika ia
menginginkan hikmah dan berusaha untuk mencapainya.”
Harun Hadiwijono berpendapat bahwa filsafat diambil dari
bahasa Yunani, filosofia. Struktur katanya berasal dari kata filosofien yang
berarti mencintai kebijaksanaan. Dalam arti itu, menurut Hadiwijono filsafat
mengandung arti sejumlah gagasan yang penuh kebijaksanaan. Artinya, seseorang
dapat disebut berfilsafat ketika ia aktif memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat
dalam pengertian ini lebih memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam
pengertian ini lebih berarti sebagai “Himbauan kepada kebijaksanaan”.
Harun Nasution beranggapan bahwa kata filsafat bukan
berasal dari struktur kata Philos dan shopia, philos dan shophos atau
filosofen. Tetapi kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yang struktur
katanya berasal dari kata philien dalam arti cinta dan shofos dalam arti
wisdom. Orang Arab menurut Harun memindahkan kata Philosophia ke dalam bahasa
mereka dengan menyesuaikan tabi’at susunan kata-kata bahasa Arab, yaitu
filsafat dengan pola (wajan) fa’lala, fa’lalah, dan fi’la. Berdasarkan wajan
itu, maka penyebutan kata filsafat dalam bentuk kata benda seharusnya disebut
falsafat atau Filsaf.
Harun lebih lanjut menyatakan bahwa kata filsafat yang banyak dipakai oleh masyarakat Indonesia, sebenarnya bukan murni berasal dari bahasa Arab sama seperti tidak murninya kata filsafat terambil dari bahasa Barat, philosophy. Harun justru membuat kompromi bahwa filsafat terambil dari dua bahasa, yaitu Fil diambil dari bahasa Inggris dan Safah dari bahasa Arab. Sehingga kata filsafat, adalah gabungan antara bahasa Inggris dan Arab. Berfilsafat artinya berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalannya. Atas dasar itu, maka menurut Harun, secara etimologi filsafat dapat didefinisikan sebagai:
Harun lebih lanjut menyatakan bahwa kata filsafat yang banyak dipakai oleh masyarakat Indonesia, sebenarnya bukan murni berasal dari bahasa Arab sama seperti tidak murninya kata filsafat terambil dari bahasa Barat, philosophy. Harun justru membuat kompromi bahwa filsafat terambil dari dua bahasa, yaitu Fil diambil dari bahasa Inggris dan Safah dari bahasa Arab. Sehingga kata filsafat, adalah gabungan antara bahasa Inggris dan Arab. Berfilsafat artinya berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalannya. Atas dasar itu, maka menurut Harun, secara etimologi filsafat dapat didefinisikan sebagai:
1.
Pengetahuan tentang hikmah
2.
Pengetahuan tentang prinsip
atau dasar
3.
Mencari kebenaran
4.
Membahas dasar dari apa yang
dibahas
Ali Mudhafir berpendapat bahwa kata filsafat dalam
bahasa Indonesia memiliki padanan kata Falsafah (Arab), Phyloshophy (Inggris),
Philosophie (Jerman, Belanda dan Perancis). Semua kata itu, berasal dari bahasa
Yunani Philosphia. Kata philosophia sendiri terdiri dari dua suku kata, yaitu
Philien, Philos dan shopia. Philien berarti mencintai, philos berarti teman dan
sophos berarti bijaksana, shopia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian,
menurut Ali Mudhafir ada dua arti secara etimologi dari kata filsafat yang
sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata
philien dan shopos, maka ia berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana
(ia menjadi sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan
shopia, maka ia berarti teman kebijaksanaan (filsafat menjadi kata benda).
2.3
Pengertian Filsafat Ilmu
Untuk
memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini
dikemukakan pengertian filsafat ilmu
dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun
(2001)
* Robert Ackerman
“philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific
opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is
clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat
ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat
ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang
dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat
ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara
aktual.
* Lewis White
Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of
scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific
enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode
pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai
suatu keseluruhan)
* A. Cornelius
Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the
nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions,
and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang
pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya
metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya
dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
* Michael V. Berry “The study of the inner logic if
scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of
scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah
dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
* May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
* May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
* Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy,
which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole
of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it
constructs theories about man and the universe, and offers them as grounds for
belief and action; on the other, it examines critically everything that may be
offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a
view to the elimination of inconsistency and error.
(Filsafat
ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba
berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman
manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun
teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai
landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat
memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan
bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan
pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan.
* Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of
science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of
scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of
representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and
then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal
logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu,
filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam
proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola
perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan,
pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai
landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal,
metodologi praktis, dan metafisika).
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat
ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab
pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis,
epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan
bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji
hakikat ilmu, seperti :
* Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari
obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap
manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
*
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan
pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu?
Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
* Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
* Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
2.4
Hubungan Antara Ilmu dan Filsafat
Berbagai pengertian tentang filsafat dan ilmu
sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka berikutnya akan tergambar pula. Pola
relasi (hubungan) antara ilmu dan filsafat. Pola relasi ini dapat berbentuk
persamaan antara ilmu dan filsafat, dapat juga perbedaan di antara keduanya.
Di zaman Plato, bahkan sampai masa al
Kindi, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh disebut tidak ada.
Seorang filosof pasti menguasi semua ilmu. Tetapi perkembangan daya pikir
manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praksis, berujung pada
loncatan ilmu dibandingkan dengan loncatan filsafat. Meski ilmu lahir dari
filsafat, tetapi dalam perkembangan berikut, perkembangan ilmu pengetahuan yang
didukung dengan kecanggihan teknologi, telah mengalahkan perkembangan filsafat.
Wilayah kajian filsafat bahkan seolah lebih sempit dibandingkan dengan masa
awal perkembangannya, dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Oleh karena itu,
tidak salah jika kemudian muncul suatu anggapan bahwa untuk saat ini, filsafat
tidak lagi dibutuhkan bahkan kurang relevan dikembangkan oleh manusia. Sebab
manusia hari ini mementingkan ilmu yang sifatnya praktis dibandingkan dengan
filsafat yang terkadang sulit “dibumikan”. Tetapi masalahnya betulkah demikian?
Ilmu telah menjadi sekelompok pengetahuan
yang terorganisir dan tersusun secara sistematis. Tugas ilmu menjadi lebih
luas, yakni bagaimana ia mempelajari gejala-gejala sosial lewat observasi dan
eksperimen. Keinginan-keinginan melakukan observasi dan eksperimen sendiri,
dapat didorong oleh keinginannya untuk membuktikan hasil pemikiran filsafat
yang cenderung Spekulatif ke dalam bentuk ilmu yang praktis. Dengan demikian,
ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai keseluruhan lanjutan sistem
pengetahuan manusia yang telah dihasilkan oleh hasil kerja filsafat kemudian dibukukan
secara sistematis dalam bentuk ilmu yang terteoritisasi. Kebenaran ilmu
dibatasi hanya pada sepanjang pengalaman dan sepanjang pemikiran, sedangkan
filsafat menghendaki pengetahuan yang koprehensif, yakni; yang luas, yang umum
dan yang universal (menyeluruh) dan itu tidak dapat diperoleh dalam ilmu.
Lalu jika demikian, dimana saat ini filsafat harus ditempatkan? Menurut Am. Saefudin, filsafat dapat ditempatkan pada posisi maksimal pemikiran manusia yang tidak mungkin pada taraf tertentu dijangkau oleh ilmu. Menafikan kehadiran filsafat, sama artinya dengan melakukan penolakan terhadap kebutuhan riil dari realitas kehidupan manusia yang memiliki sifat untuk terus maju.
Ilmu dapat dibedakan dengan filsafat. Ilmu bersifat pasteriori. Kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan esensinya. Sedangkan filsafat bersifat priori, yakni; kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian. Sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data emfiris seperti dimiliki ilmu. Karena filsafat bersifat spekulatif dan kontemplatif yang ini juga dimiliki ilmu. Kebenaran filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat itu sendiri, tetapi hanya dapat dibuktikan oleh teori-teori keilmuan melalui observasi dan eksperimen atau memperoleh justifikasi kewahyuan. Dengan demikian, tidak setiap filosof dapat disebut sebagai ilmu, sama seperti tidak semua ilmuwan disebut filosof. Meski demikian aktifitas berpikir. Tetapi aktivitas dan ilmuwan itu sama, yakni menggunakan aktifitas berpikir filosof. Berdasarkan cara berpikir seperti itu, maka hasil kerja filosofis dapat dilanjutkan oleh cara kerja berfikir ilmuwan. Hasil kerja filosofis bahkan dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu. Namun demikian, harus juga diakui bahwa tujuan akhir dari ilmuwan yang bertugas mencari pengetahuan, sebagaimana hasil analisa Spencer, dapat dilanjutkan oleh cara kerja berpikir filosofis.
Di samping sejumlah perbedaan tadi, antara ilmu dan filsafat serta cara kerja ilmuwan dan filosofis, memang mengandung sejumlah persamaan, yakni sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan, sedangkan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan. Aktivitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta. Sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu, dari mana awalnya dan akan ke mana akhirnya.
Lalu jika demikian, dimana saat ini filsafat harus ditempatkan? Menurut Am. Saefudin, filsafat dapat ditempatkan pada posisi maksimal pemikiran manusia yang tidak mungkin pada taraf tertentu dijangkau oleh ilmu. Menafikan kehadiran filsafat, sama artinya dengan melakukan penolakan terhadap kebutuhan riil dari realitas kehidupan manusia yang memiliki sifat untuk terus maju.
Ilmu dapat dibedakan dengan filsafat. Ilmu bersifat pasteriori. Kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan esensinya. Sedangkan filsafat bersifat priori, yakni; kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian. Sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data emfiris seperti dimiliki ilmu. Karena filsafat bersifat spekulatif dan kontemplatif yang ini juga dimiliki ilmu. Kebenaran filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat itu sendiri, tetapi hanya dapat dibuktikan oleh teori-teori keilmuan melalui observasi dan eksperimen atau memperoleh justifikasi kewahyuan. Dengan demikian, tidak setiap filosof dapat disebut sebagai ilmu, sama seperti tidak semua ilmuwan disebut filosof. Meski demikian aktifitas berpikir. Tetapi aktivitas dan ilmuwan itu sama, yakni menggunakan aktifitas berpikir filosof. Berdasarkan cara berpikir seperti itu, maka hasil kerja filosofis dapat dilanjutkan oleh cara kerja berfikir ilmuwan. Hasil kerja filosofis bahkan dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu. Namun demikian, harus juga diakui bahwa tujuan akhir dari ilmuwan yang bertugas mencari pengetahuan, sebagaimana hasil analisa Spencer, dapat dilanjutkan oleh cara kerja berpikir filosofis.
Di samping sejumlah perbedaan tadi, antara ilmu dan filsafat serta cara kerja ilmuwan dan filosofis, memang mengandung sejumlah persamaan, yakni sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan, sedangkan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan. Aktivitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta. Sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu, dari mana awalnya dan akan ke mana akhirnya.
Berbagai gambaran di atas memperlihatkan
bahwa filsafat di satu sisi dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu
pengetahuan, namun di sisi yang lainnya ia juga dapat berfungsi sebagai cara
kerja akhir ilmuwan. “Sombongnya”, filsafat yang sering disebut sebagai induk
ilmu pengetahuan (mother of science) dapat menjadi pembuka dan sekaligus ilmu
pamungkas keilmuan yang tidak dapat diselesaikan oleh ilmu.
Kenapa demikian? Sebab filsafat dapat
merangsang lahirnya sejumlah keinginan dari temuan filosofis melalui berbagai
observasi dan eksperimen yang melahirkan berbagai pencabangan ilmu. Realitas
juga menunjukan bahwa hampir tidak ada satu cabang ilmu yang lepas dari
filsafat atau serendahnya tidak terkait dengan persoalan filsafat. Bahkan untuk
kepentingan perkembangan ilmu itu sendiri, lahir suatu disiplin filsafat untuk
mengkaji ilmu pengetahuan, pada apa yang disebut sebagai filsafat pengetahuan,
yang kemudian berkembang lagi yang melahirkan salah satu cabang yang disebut
sebagai filsafat ilmu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan demikian penulis
dapat menyimpulkan bahwa antara ilmu dan filsafat ada persamaan dan perbedaannya. Perbedaannya ilmu bersifat
Posterior kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara
berulang-ulang sedangkan filsafat bersifat priori kesimpulan-kesimpulannya
ditarik tanpa pengujian, sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data empiris
seperti yang dimiliki ilmu karena filsafat bersifat spekulatif.
Di samping adanya perbedaan antara
ilmu dengan filsafat ada sejumlah persamaan yaitu sama-sama mencari kebenaran.
Ilmu memiliki tugas melukiskan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan
aktivitas ilmu digerakan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta,
sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya
fakta itu dari mana awalnya dan akan kemana akhirnya.
3.2 Saran
Selanjutnya kritik dan saran
kami harapkan dari semua pihak demi perbaikan penulisan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://www.
Google.com/ Filsapat Ilmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar